PERILAKU PEMIMPIN DALAM MEMBANGUN BANGSA DARI SEGI AGAMA
Nama : Muhammad Harun Rosyd
NIM : 13130028
NIM : 13130028
Dikumpulkan untuk tugas mata kuliah Kewarganegaraan
ILMU PERPUSTAKAAN D3
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
Daftar Isi ............................................................................................................................ 1
KATA
PENGANTAR................................................................................................................. 2
BAB
I PENDAHULUAN
3
BAB
II KAJIAN LITERATUR....................................................................................................
6
1. Etika Abad Kedua Puluh (Franz Magnis-Suseno)............................................................... 6
2. Nilai Etika Aksiologis (Max Scheler)................................................................................... 7
3. Membangun Moral Masyarakat yang Sedang Berkembang (Fathimah Usman).................. 8
4. Kepimpinan dan Keorganisasian (Imam Moerdjiono)........................................................ 9
1. Etika Abad Kedua Puluh (Franz Magnis-Suseno)............................................................... 6
2. Nilai Etika Aksiologis (Max Scheler)................................................................................... 7
3. Membangun Moral Masyarakat yang Sedang Berkembang (Fathimah Usman).................. 8
4. Kepimpinan dan Keorganisasian (Imam Moerdjiono)........................................................ 9
BAB
III PROBLEM dan PEMBAHASAN..................................................................................
11
1. Pengertian Nilai dan Moral............................................................................................. 11
2. Etika Dalam Membangun Negara.................................................................................... 12
3. Antusiasme Pemimpin yang Bermoral............................................................................ 14
4. Membangun Negara Berdasarkan Nilai-Nilai Agama......................................................... 17
5. Menjadikan Pemimpin yang Berakhlak........................................................................... 18
1. Pengertian Nilai dan Moral............................................................................................. 11
2. Etika Dalam Membangun Negara.................................................................................... 12
3. Antusiasme Pemimpin yang Bermoral............................................................................ 14
4. Membangun Negara Berdasarkan Nilai-Nilai Agama......................................................... 17
5. Menjadikan Pemimpin yang Berakhlak........................................................................... 18
BAB
IV PENUTUP
19
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Bismillahir
rahmanirrahim,
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang
telah menganugerahkan kepada penulis sedikit ilmu untuk menulis makalah ini
meski belum sempurna. Tak lupa juga seiring salam kami haturkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kejahiliyahan
ke zaman yang penuh terang benderang saat ini.
Penulis menyadari sedalam-dalamnya, bahwa makalah ini masih jauh
dari harapan penulis untuk mewujudkan apa yang penulis harapkan ke depannya
lagi akan tetapi justru karya ilmiah ini ditulis dalam keadaan yang penuh
kesibukkan, maka kiranya patut saya banggakan. Kekurangan dan kekhilafanyang
terdapat dalam tulisan ini saya harapkan dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca pada umumnya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah mendorong dan selalu membuat penulis berinspirasi
menemukan ide-ide diluar dugaan. Di tengah-tengah kesibukkan ini penulis
mencoba mengangkat judul: “PERILAKU PEMIMPIN DALAM MEMBANGUN BANGSA DARI SEGI
AGAMA”. Kiranya dapat memberikan manfaat dan berharap untuk terus berkembang.
Dan merupakan cambuk tersendiri bagi penulis untuk meningkatkan baik kuantitas
maupun kualitas terhadap karya-karya lainnya.
Akhirnya, karya
ini penulis serahkan kepada Allah SWT dan pembimbing yang telah memberikan
materi sesuai dengan makalah yang ditulis ini.
Yogyakarta, 14 Maret 2014
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
Di dunia ini sangat jarang pemimpin yang punya komitmen tinggi
menjunjung nilai-nilai dasar pancasila. Sehingga, yang terjadi adalah banyaknya
ketidaknyamanan di negeri pulau. Mulai dari bencana alam, bencana buatan,
sampai bencana tiruan yang menjurus kearah perpolitikan Indonesia sekarang ini
yang sedang carut-marutnya segala sistem yang telah menjadi keputusan bersama.
Oleh karena itu, tidak heran jika ada calon presiden dan wakil presiden jika
tidak pas dalam arti tidak beretika, mungkin kursi pemerintahan sudah lenyap
dilahap bencana.
Sebagai contoh, banyaknya bencana yang melanda negeri bumi pertiwi
ini sering diadakannya gelaran siraman rohani akbar dimanapun tempat. Baik di
ibukota maupun di pelosok. Tidak jelas apa yang menyebabkan negeri ini penuh
dengan duka, darah bercucuran, nyawa melayang hingga pemutasian jabatan karena
penggelapan uang rakyat. Yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah yang
menyebabkan bencana ini terjadi? Apakah karena pemimpinnya ataukah
masyarakatnya yang kurang etika dan moral, sehingga Tuhan mengirimkan
peringatan-Nya kepada kita? Apakah ini benar tanda-tanda kiamat sudah dekat?
Baiklah ada beberapa hal yang harus kita ketahui disini sebagai
salah satu penyebab dari kesemuanya yang terjadi di negeri tercinta ini. Yaitu,
kurangnya etik dan moral di dalam diri kita masing-masing dalam melakukan
segala sesuatu dan tidak menerima hasil yang telah kita kerjakan, dalam hal ini
kita biasa sebut “bersyukur”. Terbukti bahwa setiap kali kita melakukan suatu
pekerjaan dan semuanya berjalan lancar sesuai rencana, kita lupa untuk
mensyukurinya.
Di negeri ini roda pemerintahan bisa dikatakan “sistem aneh” saling
sikut dan saling menjatuhkan tidak tanggung-tanggung mulai harta benda sampai
kode etik dan moral pun jadi korban retaknya roda pemerintahan. Hal yang sangat
penulis soroti adalah kode etik dan moral yang mendasar. Di zaman globalisasi
ini mencari pemimpin yang bersih, baik, dan jujur serta fleksibel sangat susah.
Maraknya perbedaan pendapat di kursi pemerintahan akan memaksa berbagai elemen
dewan melakukan resuffhle UU bahkan UUD’45 kemungkinan bisa terkena imbasnya. Maka
jangan heran kalau sistem di Indonesia sekarang menuju keambang kehancuran.
Mereka mengubah berbagai keputusan sesuai kepentingannya bukan seiring
perkembangan zaman.
Bahkan, masyarakat ikut meramaikan jalan untuk menuntut tingkah
laku pemimpin. Bagaimana pemimpin menentukan keputusannya, dan bagaimana janji-janji
ketika saat pemilihan dulu? Apakah mereka sedang terlena dengan jabatannya? Ataukah
mereka sedang memenuhi kewajibannya sebab itu merupakan tuntutan masyarakat?
Hakikat seorang pemimpin adalah memimpin manusia. Dalam upaya menunjang
kesuksesan seseorang didalam melaksanakan tugas kepemimpinannya serta untuk
meningkatkan efektivitas kepeimimpinan, seseorang pemimpin dituntut mampu
memahami seperangkat teori tentang kebutuhan manusia (Imam Moedjiono, 2002:21).
Jadi untuk menjadi seorang pemimpin yang berkarakter pemimpin itu susah-susah
gampang. Serta bagi masyarakat jika ingin memilih pemimpin yang “bersih, adil,
jujur, dan tanggung jawab”, harus mengenal terlebih dahulu mulai dari latar
belakangnya sampai pada visi dan misinya.
Hal yang terpenting adalah bagaimana kita mencari/menemukan
pemimpin bersih jurdil serta tanggungjawab terhadap tugas-tugasnya? Jadi dalam
mencari pemimpin berkarakter itu harus memahami kebutuhan akan masyarakatnya
terlebih dahulu. Dalam hal ini menurut
Fred Luthan terdiri atas tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive),
dan tujuan (goal) (Imam Moerdjiono, 2002:21). Seorang pemimpin harus
mempunyai sifat-sifat yang komitmen,
konsisten dan berkesinambungan agar tujuan tercapai. Kemudian menurut Keith
Davish (Thoha, 1983) menggambarkan sifat-sifat itu sebagai kecerdasan,
kedewasaan, dan keleluasaan, hubungan social, motivasi diri dan dorongan
berprestasi, serta sikap hubungan kemanusiaan (Imam Moedjiono, 2002:39). Bagaimanapun
pemimpin serta para pembantu pemimpin harus mampu menganalisis berbagai
kebutuhan masyarakat.
Kita tahu bahwa kebutuhan
masyarakat sekarang ini sangatlah beragam, akhir-akhirnya saking banyaknya
kebutuhan yang ingin dicapai maka tidak dipungkiri lagi sistem yang telah
berjalan kembali menuai perubahan seiring kebutuhan masyarakat. Akan tetapi,
sistem yang dimainkan guna mengontrol segala aspek kebutuhan tidak berjalan
mulus. Memang sangat susah jika kita harus mengedepankan hanya satu hal saja.
Dan harus diakui, ketika semua kegiatan berjalan bersama maka tidak bisa
dielakkan lagi terbenturnya antar kepentingan yang sedang kita jalankan. Pemimpin
sering sekali memutuskan perkara yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
umum. Pemimpin cenderung memberikan amnesti kepada kelompok tertentu karena
mereka telah memilih, atau biasa kita sebut dengan ‘pilih kasih”.
Nah, sebagai masyarakat kita tidak bisa semena-mena menghukum para
pemimpin. Ketika seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat tertentu, maka kita tidak harus berunjuk rasa turun
ke jalan. Sehingga jalan-jalan protokol itupun harus macet.Dapat dilihat dari
segi positifnya kita sebagai masyarakat mendapatkan keuntungan dan segi
negatifnya, pemimpin dalam mengambil keputusan terkesan “pilih kasih” dengan
pendapat yang diusulkan oleh pihak lain. Penulis dapat menyimpulkan memang
setiap insan mempunyai pendapat yang berbeda serta pengambilan keputusan yang
berbeda karena budaya lokal kita juga berbeda. Tetapi, intinya kan sama, yaitu
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Hanya saja, dalam penyampaian
serta pengambilan keputusan sedikit berbeda. Terlihat bahwa komunikasi antara
pemerintah dengan rakyatnya seakan ada penghalang beton yang bertebalkan ribuan
mil jaraknya. Sehingga terjadi retaknya hubungan romantis rakyat dengan
pemerintah hanya kurangnya informasi dari pemerintah yang tidak aktual serta
pengaruh terhadap kehidupan masyarakat tetap menuai kontroversi.
Terusnya, kita sebagai masyarakat harusnya lebih jeli dan pintar
dalam menentukan seorang wakil rakyat. Kita tidak bisa memilih wakil rakyat
seenaknya, tetapi kita harus mengetahui rekam jejak calon wakil rakyat terlebih
dahulu. Ironisnya, sekarang sistem perpolitikan di Indonesia semakin memburuk
dan frustasinya partai politik dalam memilih wakilnya untuk maju ke meja
pemerintahan. Banyaknya artis-artis yang ikut mencalonkan diri sebagai wakil
rakyat menimbulkan anggapan bahwa politik di Indonesia sedang mengarah ke titik
jenuh. Kurangnya pengetahuan tentang ilmu politik menjadi salah satu bukti
bahwa politik Indonesia menuju kearah titik jenuh.
Menurut kajian islam, seharusnya pelaku politik harus berkomitmen
pada tanggung jawabnya. Jika mereka tidak punya etika maka mereka harus
diistirahatkan dari tugasnya. Hukum di Indonesia pun menjadi sasaran utama bagi
pelaku pemimpin bermata korup, bagaimana seorang korup bisa lolos begitu mudah
dari jeratan hukum? Apakah hukum di Indonesia hanya diperuntukkan untuk
masyarakat biasa? Bagaimana dengan pemimpinnya? Andaikan saja, jika kita
mempunyai pemimpin seperti itu tidak akan sangat bahaya sekali sehingga
dapatmengganggu dan merusak tatanan perpolitikan Indonesia dan kehidupan
masyarakat bahkan dapat mencoret etika kebudayaan luhur bangsa indonesia
sendiri.
BAB II
KAJIAN LITERATUR
1.
ETIKA ABAD KEDUA PULUH (Franz Magnis-Suseno)
Bagaimana kita merasakan sesuatu barang yang berharga, akan tetapi
kita tidak mengetahui berapa harga barang itu. Di kehidupan kita jelas sesuatu
yang berharga itu diukur dengan nilai. Bagaimanapun bentuk wujudnya, kualitas
maupun kuantitasnya, maupun dari segi lainnya jika kita ingin meninjau suatu
barang, pasti kita tidak akan menyadari bahwa yang kita lakukan tinjauan
terhadap benda itu dengan “nilai”. Nilai merupakan tolak ukur bagi suatu benda
yang mempunyai standar kualitas dan sejauh mana benda itu akan dipandang oleh
pengamat atau peminat.
Dengan demikian jelaslah bahwa, emosional itu akan sangat berpengaruh
bagi pandangan kita menentukan dua pilihan. Perasaan dan akal kita akan
dituntut untuk berfikir, mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga kita akan
menemukan jalan yang benar-jalan yang kita harapkan. Dalam konteks negara kita,
etika dan moral belum terlihat dan mengakar pada pemimpin ataupun partai
politik yang mengusung calon wakil rakyat di kursi panasnya. Jadi, jangan salah
kalau ada slogan “Pemilu 2014: Saatnya Menghukum Partai Korup”. Maksudnya
adalah menghakimi dan menuntut kewajiban kinerja partai politik serta visi dan
misi yang diusung baik parpol maupun calon wakil rakyatnya.
Banyak sekali baik partai atau calon wakil rakyat sekarang
mengobral janji dengan seenaknya memberi sesuatu dalam berbagai jenis dan
bentuk sumbangan. Yang dikhawatirkan masyarakat Indonesia dalam segi politiknya
kita dapat menganalisis, rata-rata calon wakil rakyat menjajakan uangnya untuk
membeli suara dan setelah itu mereka mengeruk habis-habisan kekayaan negara
untuk mengembalikan modal minimumnya. Dimanakah dan dikemanakan janji para
politisi, serta punyakah di dalam hati mereka “hati nurani”?. Jawaban setiap
pandangan mesti berbeda dengan satu sama lain, baik itu dari kalangan politisi
maupun kalangan rakyat minoritas atau mayoritas.
Di Indonesia, seharusnya sistem politiknya sudah menjadi susatu
sistem yang baku dan dapat dicontoh oleh negara-negara maju lainnya. Mungkin
ada dua masalah yang menurut penulis itu adalah sesuatu yang dasar dan harus
disosialisasikan. Pertama, bagaimana Indonesia yang sebesar ini belum bisa
menjadikan sistem politik yang baik?. Apalagi Negara Indonesia adalah negara
islam terbesar di dunia? Kedua, apakah sistem politik di Indonesia ini hanya
sebagai ajang “kreasi manggung” tapi masyarakat belum pernah sama sekali
“memanen” hasil pemilu ini?
2.
NILAI ETIKA AKSIOLOGIS Max Scheler
Di dalam kehidupan hiruk-pikuknya dunia nyata ini tidak akan
lengkap jika kita tidak menilik dari segi nilai. Nilai yang ada di dunia ini
sungguh sangat memprihatinkan dalam berbagai penafsiran, penempatan serta
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Max Scheler berpendapat bahwa nilai
merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan
kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman
indrawi terlebih dahulu). Tidak tergantungnya kualitas tersebut tidak hanya
pada objek yang tidak di dunia ini (Paulus Wahana, 2004:51). Scheler sangat
menekankan bahwa nilai-nilai itu bersifat apriori.
Maksudnya, apa arti sebuah nilai, misalnya enak, jujur, atau kudus,
kita ketahui bukan karena suatu pengalaman, secara aposteriori, melainkan kita
ketahui begitu kita sadar akan nilai itu (Magnis-Suseno, 2006:16) Yang dimaksud
kualitas nilai yang tidak bergantung adalah tidak selamanya nilai itu ada pada
objek dan berubah pada barang seiringnya perkembangan zaman. Sebagai contoh
warna merah akan selalu merah jika tidak ada yang mempengaruhinya. Akan tetapi,
kita tetap mengetahui suatu barang akan bernilai jika barang tersebut mempunyai
kualitas yang baik. Jika benda yang kita anggap itu tidak bernilai maka benda
tersebut belumlah memiliki sebuah nilai.
Dalam pendekatan aksiologis, Max Scheler mengemukakan etika dan
nilai pada umumnya, yang menggambarkan etnis dari kesadaran dan eksistensi. Dan
Max berharap membuat aksiologi yang tahan terhadap kritik-kritik relativisme
pada umumnya, dan sains yang bersifat behavioris pada khususnya (Paulus Wahana,
2004:28). Terlihat bahwa, nilai tidak hanya dipandang dari segi materialnya
akan tetapi dari perasaan atau instuisi seseorang. Emosi, kesenangan, dan
depresi salah satu dari berbagai ekspresi pandangan kita terhadap nilai. Emosi
akan timbul jika seseorang mengetahui barang yang menurutnya itu adalah bagus
atau buruk.
Seberapa kekuatan nilai yang akan kita ekspresikan pada suatu
barang itulah yang menurut Max dianggap pandangan subyeknya. Berbeda dengan
kajian obyek menurut Max, pada obyeknya berarti kita mengetahui berbagai
persoalan barang yang akan mengantarkan kepada kita apa itu arti nilai. Dalam
kehidupan sehari-hari pun kita harus menghargainilai, tidak terkecuali
pengertian dari segi filsafat tentang nilai. Jadi, kita untuk menuntun diri
kita ke arah baik dan buruk, maka kita harus mengetahui hakikat nilai terlebih
dahulu.
3.
MEMBANGUN MORAL MASYARAKAT yang SEDANG BERKEMBANG Fathimah Usman
Menurut buku yang saya baca untuk menjalankan sistem pemerintahan
yang beroriatasi dan berdasarkan asas-asas serta nilai-nilai Pancasila maka
perlu pondasi cukup dan kokoh. Ibarat kita akan membangun bengunan gedung yang
cukup kuat dan kokoh serta dapat melindungi insan didalamnya, yang pertama kita
lakukan adalah membangun pondasi. Dimana podasi ini tidak bisa berdiri jika
tidak dilandasi dengan niat. Akhirnya kita akan menemukan berbagai masalah yang
timbul akibat dari kurangnya salah satu pokok pengaman yaitu pondasi.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana kita akan
membangun gedung yang kokoh dapat melindungi dan rakyatnya? Menurut GBHN, bahwa manusia adalah
sebagai modal dasar pembangunan Indonesia yang dapat dibina dan dikerahkan
sebagai tenaga kerja yang efektif dan menguntungkan bagi usaha-usaha
pembangunan di segala bidang (Fathimah Usman, 1981:2).
Manusia sebagai modal dasar pembangunan harus mempunyai sifat-sifat
tegas dan berkomitmen serta bertanggung jawab penuh atas segala kinerja yang
diembannya. Nah makanya kita sebagai rakyat biasa kita berani mengevaluasi
berbagai dampak pemerintahan seseorang karena kita sama-sama manusia yang
banyak kekurangan serta saling melengkapi diantara satu sama lainnya. Maka
dirintislah aparatur Negara pada zaman PELITA III, guna mengawasi serta
mengevaluasi kinerja pemerintah yang dianggap baik atau buruk. Itu ditentukan
saat pelaksanaan atau pun dalam bentuk hasilnya.Tanpa mengurangi arti dari pada
pengawasan terhadap aparatur negara yang telah ada, maka pengawasan yang paling
efektif adalah pengawasan terhadap diri sendiri yaitu pada hati nurani
(Fathimah, 1981:3). Sebab kita tidak mungkin untuk mengawasi segala sistem
pemerintahan selama 24 jam. Dengan kesadaran tinggi kita akan merasa sangat
diawasi, karena kita mempunyai hati nurani.
Jadi pemimpin menurut agama adalah pemimpin yang mempunyai dedikasi
tinggi, bermartabat, berakhlakul karimah, serta mau melayani apa yang
dibutuhkan masyarakatnya. Sehingga, dengan sendirinya ia akan lebih focus pada tugasnya
serta tidak merasa terbebani urusan keduniaan yang berwawasan pada kebutuhan
individu, kelompok atau etnis tertentu.
4.
KEPEMIMPINAN
dan KEORGANISASIAN Imam Moedjiono
Menjadi seorang pemimpin nomor satu itu adalah hal yang sangat
lumrah bagi manusia. Dan kita semuanya ingin menjadi yang nomor satu dari
berbagai segi dan pandangan. Tapi kita tidak bisa semau kita dengan menjajakan
uang untuk menjual diri kita sebagai pemimpin. Toh, yang mau membayar dan
menerima diri anda itu siapa jika hanya dengan propaganda belaka.Kadang-kadang
para pemimpin itu cerdik sekali dalam perolehan suara. Dan kita bisa
mengira-ngira, bahwa yang duduk sekarang adalah pejabat-pejabat yang berbual
kinerjanya. Bisa dianalisis, sebagai contoh pejabat A adalah anggota potlitik A
atau pengurus politik A. Sedang pejabat B adalah lawan politik A dari politik B
dan atau pengurus politik B. Sehingga segala kemungkinan antara pejabat A dan B
saling sikut untuk mementingkan politiknya.
Naasnya, jika salah satu pejabat A atau B mengkhianati kelompok
atau partai politik yang mengusungnya. Ini merupakan salah satu masayang ada di
dunia perpolitikan Indonesia. Ilustrasinya seperti ini, jika ada kandidat dari
kelompok A yang ingin maju menjadi wakil rakyat sedangkan kelompok B adalah verifikatornya
jadi berkas-berkas yang masuk ke tahap verivikasi bisa jadi dimanipulasi oleh B
dengan cara bermacam-macam agar calon dari kelompok A gugur. Nah, sperti itulah
gambaran sistem politik “nakal”.
Melihat dari kacamata islam, pemimpin ideal mempunyai nilai-nilai
kepemimpinan, yaitu teoritik, ekonomis, estetik, sosial, politis, dan
religious (Imam Moedjiono, 2002:49). Secara umum telah disebutkan di dalam
Al Qur’an, yaitu “sebaik-baik pemimpin adalah merekaa yang kamu cintai dan
mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu.
Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci
kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (H.R. Muslim).
Tetapi kebanyakan diantara pemimpin dan yang dipimpin berseberangan
ditandai dengan banyaknya partai yang pro-kontra dengan kinerja pemerintah atau
seorang pemimpin. Sehingga yang terjadi adalah kemunduran politik di Indonesia
serta akhir-akhirnya adalah masyarakat yang menjadi sasaran keruhnya visi dan
misi suatu partai atau wakil rakyat sekalipun. Bagi partai politik, hendaknya
mereka mempunyai kredibilitas yang jelas yang dapat mempengaruhi masyarakat
secara umum dikarenakan masyarakat sekarang bisa dikatakan masyarakat yang
bukan “merem politik” lagi meskipun mereka belum merasakan “manggung” dipentas
politik.
Karena mereka mempunyai pandangan dan bisa menilai mana pemimpin
yang baik dan mana pemimpin yang buruk. Meski para calon wakil rakyat semua
bertingkah yang bagaimana dan memberikan aplous yang berbentuk apa saja itu
tidak mudah mempengaruhi filosofi pemimpin yang tertanam dalam jati diri
masyarakat. Pada intinya, masyarakat memilih pemimpin yang bisa memahami
situasi dan kondisi serta dalam mengambil keputusan mereka berani bertanggug
jawab atas keputusannya.
PROBLEM dan PEMBAHASAN
1.
Pengertian Etika dan Moral
“Perkataanetika juga mempunyai berbagai pengertian. Pengertian
biasa digunakan sebagai satu peraturan yang menjadi panduan hidup manusia. Contoh: ‘etika perubatan’
(medical ethics) –bermaksud suatukode (susunan undang-undang) yang dapat
mengatur dan memberikan panduan tingkah laku kepada para doktor dalamperubatan
antaramereka danjuga dengan para
pesakit. ‘Etika perniagaan’ (bisuness ethics) adalah suatu kode yang
dapat mengatur tindak-tanduk ahli-ahli perniagaan terhadappelanggan, pekerja
dan rekan-rekan seperniagaan mereka”(Stroll & R.H. Popkin: Introduction to
Philosophy: hal249-251).
Untuk permasalahan nilai di Indonesia saja mengenai mundurnya
pengertian nilai bahkan dunia mungkin saja merasakan hal yang sama tentang
kemunduran nilai. Ditandai beberapa tahun terakhir sering munculnya kontraversi
antarnegara, kesalahpahaman gagasan sering menjadi pokok permasalahan. Tidak
kalah lainnya yaitu nilai dan moral para pemimpin. Penting dan sangat mendasar
sekali nilai dan moral perlu ditumbuhkembangkan disetiap individu.Mungkin
mereka berpikir bertingkah yang baik itu hanyalah suatu kebiasaan transparan
jika kita temui di ranah politik. Nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri sekarang
merosot tajam. Di dalam dunia perpolitikan etika dan moral semakin carut marut
sehingga pelaku politik pun juga amburadul penampilannya. Kita bisa melihat dan
merenungkan sejenak, begitu pentingnya nilai dalam hidup kita.
Terutama dalam jiwa seorang pemimpin dituntut agar berjiwa wibawa
dan penuh kasih sayang terhadap masyarakat dengan cara memberikan pelayanan sepenuhnya,
tidak pilih kasih. Sangat disayangkan jika seorang pemimpin kehilangan citra di
mata masyarakat bahkan dunia. Nabi Muhammad junjungan umat islam pun mampu
membawa umat islam dari kejahiliyahan menuju ke zaman era seperti zaman
sekarang ini penuh dengan berbagai keindahan yang luar biasa. Karena beliau
mempunyai kharisma kepemimpinan yang sangat luar biasa. Sebenarnya politik yang
diinginkan di Indonesia adalah mencari pemimpin yang baik bukan pintar saja.
Dan juga mempunyai charisma dan akhlak yang melekat pada seorang pemimpin akan
menjadi nilai plus tersendiri jika masyarakat bisa melihat dengan hati
nuraninya.
Ada berbagai contoh yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
dalam karangan ini. Tetapi dari semua contoh yang penulis tangkap adalah
rendahnya masyarakat akan pengetahuan tentang nilai dan moral. Tidak jauh-jauh
dari konteks kemasyarakatan demokrasi saat ini, pengertian nilai dan moral
seakan-akan hilang dimakan politisi yang gemar sesumbar. Artinya, tidak selalu
mengedepankan nilai dalam sosialisasi politik. Sebagai contoh, dengan alat
media mereka seenaknya saja mengobrak-abrik tatanan sistem politik. Akan
tetapi, sistem politik yang ada di Indonesia ini juga kacau bahkan brutal.
Akhir-akhir ini, ada beberapa masalah ada jajaran hokum dan para hakim.
Kemanakah kode etik yang mereka punya sehingga mereka bisa melakukan hal yang
tidak semestinya antara lawan jenis. Itu
pada tingkat hakim dan hukum, satu tingkat diatas pemimpin. Karena, kita tahu
dalam ajaran islam menerangkan seburuk-buruknya pengadil adalah perilaku hakim
terhadap hukum. Lihat akhir-akhir ini juga terdapat kasus yang melanggar kode
etik sebagai hukum. Mereka adalah pengadil para penguasa di Indonesia, para
politisi bahkan seorang presiden pun tunduk dengan keputusan hakim. Ironisnya,
para ahli hakim tidak dikenakan sanksi yang setimpal atas perbuatan yang tidak
harus mereka lakukan semestinya. Itu juga mempengaruhi kelakuan masyarakat pada
umumnya, para mediator siap untuk mengupas habis politk, serta berbagai gejolak
yang ada di Indonesia tidak terkecuali baik buruknya para penguasa.
Dan ini jelas dapat mempengaruhi elemen di Indonesia. Karena di Indonesia
tidak hanya elemen politik saja, tetapi moral, etika, akhlak, dan sebagainya
seperti kehidupan beragama pun ikut tercemar. Karena merupakan pilar dan
penyambung bagi generasi penerus bangsa kian menipis disebabkan brutalnya
perilaku pemimpin saat ini. Kenapa hukum di Indonesia ini harus ada, kalau
akhirnya akan menjadi alat bagi yang mengerti hukum untuk melanggarnya? Sungguh
sesuatu yang sangat disayangkan oleh perilakukehidupan berpolitik bagi warga
negara kita. Ingat! Kita Negara islam terbesar di dunia, bung!
2.
Etika dalam Membangun Negara
Tidak mudah bagi seseorang yang ingin mengubah paradigma kehidupan
berpolitik di Indonesia. Tak semudah membalikkan kedua telapak tangan,
mungkin peribahasa ini yang tepat jika ditujukan untuk setiap berjiwa pemimpin.
Karena di dalam pikiran kita yang ada adalah “bagaimanakah kita mengubah
paradigma kehidupan sekarang sesuai dengan hukum dan ajaran agama yang berlaku
di Indonesia?”. Untuk membangun suatu negara yang berdaulat haruslah mempunyai
akhlak yang baik. Coba pikirkan, bagaimana jika negara kita dalam membangun
negara yang berorientasi maju tidak dipimpin oleh pemimpin yang berakhlak.
Adakah sesuatu yang bisa mengarahkan ke zaman yang lebih maju lagi jika tidak
diiringi dengan akhlak?
Apakah negara kita hanya terdiam seperti ini menyongsong pesta
pemilu tanpa akhlak? Tanpa didasari dan dibekali sosialisasi tentang pemilu?
Pendidikan politik itu perlu, semestinya politik menjadikan sadar bagi kalangan
pelajar. merekalah yang nantinya akan manggung dalam pentas politik. Pemuda
yang sangat diharapkan partisipasinya dalam pemilu sekarang setidaknya dapat
menjadikan semakin sadarlah wahai pemuda. Bangsa dan Negara ini sangat
bergantung dengan para pemudanya. Maka tak ayal jika kita sebagai warga negara
harus mempelajari sejarah, kebudayaan serta sistem dan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, ini sangat perlu dan terus dikembangkan lagi.
Banyak contoh pemimpin yang memang sukses membawa negaranya maju,
bersaing dengan negara lainnya. Tetapi, ada nilai negatifnya juga. Dari sisi
nilai dan moral, semakin negara itu maju semakin pula banyak pemberontakan
terjadi. Ini mengindikasikan bahwa negara tersebut belumlah maju. Negara yang
maju berarti negara yang patuh terhadap hukum-hukum yang diterapkan di
wilayahnya.
Serta tidak lupa, kita dapat melihat sisi moral dan etika para
pemimpin bangsa. Sungguh menyedihkan jika pemimpin mereka tidak berakhlak.
Padahal seperti yang saya tuturkan diatas, pemimpin harus mempunyai kredibiltas
perilaku yang ulet tidak mudah dipengaruhi hal-hal yang tidak tahu
asal-usulnya. Sehingga dapat mencelakakan negaranya bahkan dirinya sendiri.
Seorang pemimpin juga dituntut dalam membuat keputusan yang
bermoral dan pasti. Sebagai contoh direktur dalam mengatasi gentingnya krisis
ekonomi yang melanda perusahaannya harus melalui musyawarah dan keputusan yang
diambil dapat diterima oleh semua elemen yang ada di perusahaannya. Sehingga,
akan meminimalisir krisis ekonomi atau istilahnya deflasi yang tidak
tahu kapan akan selesainya. Begitupun dengan pemimpin Negara, mereka harus
mempunyai sifat ulet pada kepemimpinannya dalam menegakkan hukum dan
mengarahkan negara kea rah yang lebih baik.
Ada saja yang membuat pemimpin kita terlena dengan kekuasaannya,
yaitu mereka lupa dengan kemewahan dunia baru mereka serta janji-janji yang
dulu pernah mereka acuhkan kepada masyarakat. Maka dari itu, sebagai masyarakat
kita tidak bisa semudah itu dalam menentukan wakil rakyat kita. Sekarang yang
menjadi pertanyaannya adalah apakah kita sebagai masyarakat harus bermusyawarah
terlebih dahulu? Terus apa arti slogan bebas, bersih dan jurdil itu?
Darimanakah kita memandang suatu keputusan yang telah kita buat dulu?
Jawabannya seperti ini kita harus menginstropeksi diri terlebih dahulu dan harus
berintelijensi tinggi agar kita dalam memilih pemimpin benar-benar sesuai
dengan karakter bangsa kita yang sangat dibutuhkan, memahami situasi moral dan
kemakmuran bangsa.
Penting dalam memilih pemimpin kita juga tidak lepas dari
kehidupannya sehari-hari, termasuk dalam memberikan inisiatif dalam memecahkan
masalah serta dalam hubungan masyarakat sekitar. Perkara yang mudah bagi kita
bisa saja menjadi boomerang bagi diri sendiri. Karena masih banyak dari
pemimpin yang selalu menganggap masalah di negaranya adalah hal yang tidak
harus dipecahkan, dengan anggapan semuanya akan berjalan sesuai perkembangan
zaman. Akan menjadi masalah jika kita tidak peka terhadap masalah yang
menyambangi kehidupan di sekitar kita.
Seperti tadi, hal sekecil apapun akan membahayakan bagi diri
sendiri. Sehingga kita harus terus berinstropeksi diri secara berkala, semisal
mengadakan revisi terhadap kinerja diri sendiri itu akan membantu melihat
sejauh mana kita berinteraksi dengan lingkungan.
3.
Antusiasme Pemimpin yang Bermoral
Pemimpin sekarang dengan pemimpin yang akan datang selalu berbeda
dalam memerintah. Itu dikarenakan beberapa hal seperti kebutuhan pribadi,
kelompok dan negara pada umumnya. Menurut Imam Moerdjiono, beliau juga mengutip
dari Djamaluddin Ancok (1999) memandang sosok pemimpin berkarakteristik yang
mampu memimpin umatnya kearah yang lebih baik lagi dalam era Cyber Society,
diantaranya : Visionary thinking; Strategic management; Leadership skill;
Effective Communication; Interpersonal communication; Self motivation; and Self
management(Imam, 2002:87-90)
Perhatikan penjelasan dari semua karakteristik di atas yang akan
penulis uraikan satu persatu.
a)
Visionary
Thinking
Setiap pemimpin harus mempunyai visi dan misi yang jelas dan dapat
mengembangkan kreativitas yang berinovatif. Mungkin sudah banyak pemimpin kita
yang terlanjur duduk di kursi rakyat tapi kenyataannya mereka tidak menjalankan
amanah masyarakat yang telah bersusah payah memberikan hak suaranya. Jelas
wajib jika seorang pemimpin harus mengemukakan atau mendeklarasikan visi dan
misi di depan umum. Tujuannya untuk memberikan berbagai opsi dalam membangun
wilayah atau daerah yang mereka tempati serta memajukan dan meningkatkan
optimalisasi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Tapi, kita lihat akhir-akhir
ini kita tidak melihat bentuk capaian dari satu pemimpin di negeri ini.
b)
Strategic
Management
Pemimpin masa depan dituntut untuk memiliki kemampuan mengembangkan
competitive strategy pada Hyper Competitive Era ini. Oleh
karenanya, dituntut untuk mampu menerjemahkan strategi kedalam implementasi,
dengan mengidentifikasi faktor-faktor penting terkait baik melalui SWOT
analisis maupun WOTS UP analisis.
Di samping itu juga dituntut untuk melakukan antisipasi resiko
dengan contingency plan atau rencana pengganti sebagai langkah preventif
jika menghadapi kendala tak terpecahkan, atau setidak-tidaknya untuk
menghindarkan kevakuman (Imam Moerdjiono, 2002:88)
Langkah-langkah ketika pemimpin harus menerapkan strategic management
ini adalah pada added value dari waktu ke waktu, dan senantiasa
mencermati cost consciousness atau sadar biaya dan perampingan dalam
rangka efisiensi (Imam Moerdjiono, 2002:88)
c)
Leadership
Skill
Untuk menunjang kesuksesan yang dapat diraih saat berada di dalam
oraganisasi, pemimpin dituntut untuk memiliki Leadership skill. Ini
dimaksudkan agar berbagai persoalan yang menimpa organisasinya dapat
diselesaikan dengan baik, dan tidak muluk-muluk. Begitu banyak masalah kompleks
yang sering ditemui di dalam organisasi. Pemimpin dituntut untuk mencari solusi
untuk memecahkan masalah. Nah, dalam hal ini bagaimana pemimpin menyikapi serta
menanggapinya akan terasa jelas posisi pimpinan yang ia emban. Oleh karena itu,
tidak sembarangan dalam memilih pemimpin serta mencari solusi dari suatu
permasalahan tidak gampang.
d)
Effective
Communication
Pada tingkat ini pemimpin juga diuji kepemimpinannya karena sekali
saja salah dalam berbicara akan muncul kesalahpahaman yang berakibat fatal
serta mengancam posisinya. Yang harus dikuasai pada bagian ini adalah kecakapan
bicara verbal and non verbal communications, agar hubungan komunikasi
antarsemua lini dapat terkendali dan berjalan sesuai rencana. Sebagai contoh,
jika seorang memerintah bawahan tingkat I (A) bisa saja benar dan mempunyai
pandangan yang sama, akan tetapi jika dia menyampaikan kepada tingkat I (B)
yang mempunyai pandangan berbeda maka seorang pemimpin benar-benar diuji
kepemimpinannya.
e)
Interpersonal
Communication
Disamping seorang menguasai effective communication dengan
orang lain, pemimpin juga dituntut untuk menguasai interpersonal
communication dengan orang lain pula. Hali ini biasanya jika seorang
pemimpin mempunyai masalah atau sebaliknya.
Artinya, seorang pemimpin dalam menjalin hubungan komunikasi dengan
orang lain itu bisa tetap terjaga dan mempunyai makna serta maksud yang sama
baik terhadap setiap lini organisasinya maupun terhadap diri sendiri.di tahap
inipun, pemimpin jugadituntut untuk menghargai pendapat orang lain dengan
berbagai cara yang dapat ditempuh dengan tujuan, menjalin hubungan kekeluargaan
sehingga seperti saudaranya sendiri dan mencari solusi untuk memecahkan masalah
yang sedang dihadapi.
f)
Self
Motivation
Sebuah organisasi biasanya tidak akan maju jika pemimpin mereka
hanya biasa-biasa saja. Mereka seperti “kurang makan” dalam hal motivasi
sebagai makanan pembangkit nutrisi kerja organisasi. Untuk membangkitkan
motivasi fungsionaris dan members maka sang pemimpin harus mau bekerja
melebihi harapan (beyond the call of duty), berani mengambil resiko,
mampu membangkitkan semangat kerja dan dapat menyegarkan suasana kerja dengan sense
of humor.
g)
Self
Management
Seorang pemimpin yang efektif dalam mengatur atau meng-handle
organisasinya akan terlihat jelas dari tingkah lakunya dalam me-manage segala
kegiatan yang akan dilakukannya. Karakter seperti ini jarang sekali ditemukan
oleh setiap pemimpin masa sekarang dan berharap ada pemimpin berkepribadian
lebih baik lagi di masa yang akan datang. Bagaiman cara pemimpin melakukan
kegiatan dan mengambil keputusan sampai memberikan motivasi kepada anggotanya
akan sangat berpengaruh pada sistem organisasinya. Maka wajib jika sekarang
pemimpin harus berkepribadian yang labih baik lagi baik indoor maupun outdoor.
4.
Membangun Negara Berdasarkan Nilai-Nilai Agama
Menurut ajaran agama dan dari beberapa literatur yang membahas
kepemimpinan dalam islam dapat dikemukakan beberapa dasar-dasar
kepemimpinannya:
a)
Tidak
mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi
orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi lebih lanjut terhadap
kualitas keberagaman rakyat yang dipimpinnya.
b)
Setiap
kelompok orang bahkan dalam kelompok lebih dari tiga orang diperlukan adanya
pemimpin. Guna mencapai tujuan organisasi, disamping memiliki anggota, juga
harus mengangkat pemimpin sebagai penanggungjawab organisasi tersebut.
c)
Pemimpin
harus orang yang memiliki keahlian di bidangnya dan kehancuran jika menyerahkan
urusan umat kepada seseorang yang bukan ahlinya atau tidak memiliki kemampuan
untuk memimpin.
d)
Pemimpin
harus bisa diterima (acceptable): mencintai dan dicintai umatnya,
mendoakan umat dan didoakan. Bukan sebaliknya dibenci dan membenci, melaknat
dan melaknat umat.
e)
Tujuan
kepemimpinan dalam islam adalah agar urusan masyarakat dapat bekerja dengan
lancar. Ini dapat dilihat dari perilaku nabi ketika menghadapi masalah yang ada
dalam masyarakat kemudian beliau mengadakan musyawarah agar kesepakatan bisa
tercapai.
f)
Dalam
mengambil keputusan, seorang pemimpin hendaklah mengutamakan musyawarah.
Nah, dalam
berbagai kehidupan masyarakat kita tentunya menemukan berbagai masalah baik itu
perdata maupun pidana, baik menyangkut hukum maupun tidak. Tidak dikatakan
demokrasi j\suatu negara jika didalamnya tidak ada sistem musyawarah. (Imam
Moerdjiono, 2002:87-90)
5.
Menjadikan Pemimpin yang Berakhlak
Ini merupakan tugas kita, tugas generasi saat ini. Siapa lagi yang
akan melayani dan memberikan pengantar pemimpin berakhlak, kalau bukan generasi
sekarang. Sangat dibutuhkan pendidikan politik bagi pemuda penerus bangsa.
Mereka adalah ujung tombak negara kita di masa yang akan datang. Jadi, sebagai
penerus bangsa kita wajib mengenal gejala sosial sebagai ilmu termasuk
didalamnya politik serta kepemimpinan yang berkarakter. Pendidikan politik pun
menjadi sangat dibutuhkan bagi masyarakat demokrasi saat ini dan etika adalah
hal yang paling utama dalam membangun karakter bangsa. Bagaimana mungkin
seorang pemimpin akan membangun bangsa tanpa ilmu pengetahuan dan kecakapan
etika yang akan dia bangun secara bersamaan dalam rangka membangun bangsa dan
negara?
Dalam bukunyaAhmad Tajidin merumuskan moral bahwa “Keadaanyanglahir
daripadajiwaseseorangsebagai dayapenggerakkepada wujudnya satu-satuperbuatan,
dan perbuatanitu sendiri perlu dilakukandengan
motif yangbaik, berterusan danbukandisebabkanolehdesakanataudorongan
emosi”. Dalam hal memipin sebuah organisasi, pemimpin pun hendaknya demikian
tidak dipengaruhi oleh ekstern tetapi akan lebih berpengaruh jika intern
memberikan motivasi yang tinggi. Karena, sejatinya motivasi ada pada diri kita
sendiri-sendiri secara tidak sadar. Ketika kita menceritakan segala hal kepada
orang lain, mungkin mereka bisa memberikan penjelasan dan pengarahan tetapi
belum tentu memberikan solusi karena teman kita belum tentu mengalami apa yang
kita alami.
Pada intinya semua terserah pada karakter seorang pemimpin. Jika
pemimpin itu ada pada lingkungan yang baik maka baiklah kepribadiannya.Moral
pada era globalisasi ini sangat penting bagi setiap insan berjiwa ksatria dan
kepribadian yang budi luhur menjadikan tubuh ini semakin berkembang dan dewasa.
Seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus paham dan mampu merespons keadaan
sekitarnya. setelah tumbuh dewasa kita dituntut untuk peka terhadap situasi dan
kondisi masyarakat, problematika masyarakat, kebudayaan masyarakat dan tingkat
kesadaran moral, etika dan akhlak menjadikan kita akan lebih berpikir ekstra.
BAB III
PENUTUP
Dalam bagian ini hanya beberapa yang akan penulis persembahkan
kepada pembaca. Jika di dalam hati kita tidak punya rasa andap ashormaka
musnahlah segala materi rohani yang melekat pada tubuh kita sehingga tidak lagi
aka nada pemimpin yang didambakan masyarakat umumnya. Moral dan etika sering
kali diartikan sama dan tidak ada perbedaan yang begitu tegas untuk mengetahui
perbedaan dan persamaan antara keduanya. Dan keduanya saling melengkapi atas
kekurangan dan kelebihan masing-masing. Semuanya akan tertanam dalam diri kita
terutama dalam hati nurani serta akal pikiran kita yang berpikir ulang untuk
mencari solusi terbaik jika dihadapkan pada suatu permasalahan.
Memang benar tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, pasti
ada luputnya dan tidak pernah luput dari keluputannya. Karena itu merupakan
sifat kodrati yang telah Tuhan ciptakan kepada makhluk-Nya. Membicarakan
persoalanbetul atausalah, benaratau tidak dan apakahyangperlu
dibuatatauyangharusditinggalkanterhadap sesuatuperkara dalamsatu-satu keadaan (
Peter Baelz: EthicsandBelief: 1)
Dalam berbagai gejala reformasi dan memasuki era milenium dan
global ini penting moral dan etika dikedepankan terlebih dahulu. Maka jangan
salah jika ada seorang pemimpin menganggap tugas yang diembannya semata-mata
hanya tugas. Akan tetapi, dibalik kepemimpinannya mempunyai maksud yang berbeda
pula dari visi dan misi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo,
Miriam. 2008. Edisi revisi: Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia
Magnis-Suseno,
Franz. 2006.Etika Abad ke-20. Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2006
Moedjiono,
Imam. 2002.Kepemimpinan dan Keorganisasian. Jakarta: UII Press, 2002
Usman, Fathimah. 1981.Makna Iman Bagi Kehidupan Bangsa Yang
Sedang Membangun.Jakarta: Departemen Agama R.I., 1981
Wahana, Paulus. 2004.Nilai Etika Aksiologis Max Scheler.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004.